Suatu sore disuatu pantai, ketika mentari senja bersinar hangat, dan angin sepoi-sepoi. Sepasang anak manusia, layaknya sepasang kekasih bergandengan, berpelukan. Menyusuri bibir pantai menyapa ombak, menikmati nyanyian angin dan riak gelombang. Dan angin mendesir uwir-uwir menjamah pasir yang menerbangkan angan dan impian, impian sepasang kekasih, penuh harap dan angan. Langit diatas sana secerah hatinya, seindah cintanya. “mas, aku tak ingin pulang, aku selalu merindukan saat-saat kayak gini,..” kata perempuan itu manja sambil nggelendot dipundak si lelaki. Lelaki itu hanya tersenyum sambil mempererat pelukannya, seakan takut kalau-kalau kekasihnya akan terbawa angin, sambil mata dan perasaannya menerawang jauh diujung samodera, ujungnya mimpi dan angan. “Aku pun akan setia dengan cintamu, sayang,..” kata si lelaki dalam hatinya. Dan Alam pun mendengar harapan keduanya, maka jadilah si perempuan itu menjadi bibir pantai, pantai dengan pasir yang memanjang dan luas. Dan si lelaki menjadi ombak, ombak yang selalu setia mencumbui bibir pantai. Pantai dengan pasir yang halus, berlekuk-kelok dan hangat.
Ditempat lain yang masih di pantai itu. Sepasang kekasih dengan cintanya, yang menggelora, menggebu-gebu seperti gelegar ombak yang dahsyat, sedang berasyik-masyuk. Tak menghiraukan sekelilingnya, kayak dunia ini hanya milik mereka berdua, tentu saja orang lain cuma numpang doang, mungkin pikirnya. “Mas,.. bagaimana seandainya orang tua ku tak menyetujui hubungan kita?” Tanya si wanita. “Apapun yang terjadi aku tetap memilihmu, sayang, mencintaimu, tiada yang lain”. Kata si lelaki, “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Tambahnya. Hordaa pring!,.. sekejap kemudian jadilah keduanya karang ditengah lautan. Karang yang tegak menantang hantaman ombak, berdiri tegak, keras dan tajam. Setajam dan sekeras kemauan cinta mereka berdua.
Masih dipantai yang sama, lelaki muda berjalan gontai, putus asa. Kayaknya sih sedang prustasi dia. Ach, Alam sebagai penyaksi, jadilah ia burung camar. Dan ia menjadi ceria sekali, meski kadang menjerit dengan pekikan yang menyayat hati. Kini ia beterbangan kesana-kemari, mencari mangsa, mencari belahan hati. Di tempat yang sama, wanita muda duduk termenung sendiri. Tak mau berkawan dan menikmati kesendiriannya, mengenang masa, tergenang kenangan indah yang pernah dilaluinya. Siang-malam kerjanya melamun dan bersendiri, dimatanya tak membayang harap dan mimpi. Seakan langit runtuh menimpa ia sendiri.Lantas Alam pun menjadikannya perahu. “Hah? Perahu?” tanyaku terheran-heran. “Ya, dengan menjadi perahu hidupnya akan lebih berarti”. Kata-Nya. “Meski dia hanya diam, tapi dia akan mengantar siapa saja untuk sampai ketujuannya. Dan itu akan lebih bermanfaat daripada ia hanya sebagai manusia penyendiri dan tergenang masa lalu saja”. Ku pikir, benar juga ya, dia akan membawa penumpangnya ketengah laut, menyisir di tepian pantai, menyusuri sungai sampai ke hulu. Mengail dan menjala ikan, atau mengantar orang yang akan menyeberang. Dan juga mereka yang sedang berpiknik dan bersenang-senang. Lelaki perempuan sama saja, boleh naik dan mendayung, menikmati panorama sungai dan laut. Sendiri atau beramai, sekali dayung dua atau tiga pulau dapat terlampau. Memecah ombak menentang badai, siang-malam selalu bergoyang, selalu tergenang,selalu tergenang,…
Yogyakarta, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar