selamat datang di sketsa dunia kecilku semoga sesuatu yang kecil ini akan bermanfaat meski hanya secuil

Rabu, 25 Januari 2012

Ciuman yang membekas di Batu Candi


Dieng Plateau masih berkabut ketika pagi sekali kutinggalkan kamar hotel. Aku bergegas ke situs candi-candi itu, karena aku tak ingin kehilangan momen pagi. Momen pagi yang entah mengapa kuanggap sangat penting bagiku. Aku tak berharap dapat melihat matahari terbit, karena tempat ini memang dikelilingi gunung-gunung, atau lebih tepatnya bukit-bukit. Dan kalau boleh jujur alam disini ketika pagi begini, lebih tepatnya seperti hawa kulkas. Dingin, berkabut dan nafas ini selalu mengeluarkan uap embun. Aku jadi berharap matahari itu terbit, tapi matahari yang ada dalam alam khayalku. Yang dengannya aku berharap tidak saja menhangatkan tubuhku, tapi lebih pada gairahku. Ya, aku ingin semangatku selalu terbakar olehnya. Matahari yang tercipta dalam tubuhku, dalam alam pikiranku.

Kumasuki pelataran candi-candi ini. Tubuhku agak menghangat, walaupun jarak dari hotel ke situs ini tidak begitu jauh, tapi cukup menyulut bara matahari dalam tubuhku. Hal yang selalu sama aku rasakan setiap kali memasuki pelataran candi ini. Walaupun entah untuk yang keberapa kali aku ketempat ini. Tapi, kali ini adalah pagiku yang pertama kalinya aku disini. Memang lain, atau karena hanya aku sendiri yang menikmati pagi di candi ini. Entahlah, tapi kali ini kurasakan lain dari biasanya. Tapi aneh, aku seperti tidak sendiri disini, meski yang ada hanya batu-batu candi yang seperti diam dan beku. Ach, aku jadi ingat, betapa bergegasnya aku ketika menemui kekasihku, waktu masa sekolah dulu. Dan setelah bertemu, kami hanya saling memandang malu, tak berkata-kata. Hanya senyum dan tentu saja perasaan yang melayang. Hehehe, kok jadi melayang kesana ya? entahlah

Aku berjalan pelan mengelilingi pelataran candi. Kunikmati betul suasana pagi ini. Sendiri, berkabut, embun dan batu candi. Bahkan alampun seakan masih membisu, ngelangut dan ngangleng. Aku berhenti pada salah satu candi. Salah satu candi yang menurutku sangat berbeda dengan yang lainnya. Mungkin karena dibagian tubuh candi ini terdapat beberapa gambar dewa sehingga dia berbeda dengan yang lain. Tapi memang iya sih, aku sedikit tertarik dengan gambar-gambar itu, meskipun sudah terlihat rapuh dan tak utuh lagi. Mungkin itu Syiwa, Guru atau Wisnu. Tapi satu gambar yang kuyakini dan aku benar-benar tertarik. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Gambar relief itu sudah tak utuh, tak berwajah dan bahkan dua bagian yang berada di dada, bagian yang menurutku sangat menarik itu, sudah tak ada lagi. Mungkin karena dia sangat cantik dan menarik, sehingga ada saja tangan-tangan usil yang selalu ingin menjamah dan akhirnya? Seperti yang kulihat, mencongkelnya dan menyimpannya, mungkin.

Dari jarak tertentu dia kupandang. Aneh, sepertinya dia juga menatap dan mengamatiku. Dan tangannya yang berjumlah empat itu mulai sedikit bergerak. Tangannya menggenggam bunga, anak panah dan yang dua lainnya membawa entah, aku tak memperhatikan. Kini tubuhnya yang ramping itu mulai sedikit bergoyang. Dan kakinya yang jenjang mulai menapak, dia bergerak, bergoyang, goyang yang gemulai dan turun di pelataran candi. Mungkin dia menari atau bergerak, tapi gerak dan goyang yang sangat menawan. Aku larut dalam tariannya, tarian dengan gerak pelan dan memperlihatkan gemulai lekuk tubuhnya yang aduhai. Pelan dia seakan menghampiriku dan memberikan bunga yang sudah tak utuh. Aku terima bunga itu dengan tubuh bergetar, dan tak kurasakan lagi detak jantung juga desah nafasku. Ketika bunga itu kusentuh, dan, plass,… dia kembali pada tubuh candi. Dan bunga yang kuterima itu menjadi secuil batu. Secuil batu candi seperti kelopak bunga, tapi seperti juga sepasang bibir, sepasang bibir yang saling menangkup, seperti ciuman yang membekas di batu candi.

*kenangan esuk uthug-uthug berdingin-dingin di pelataran candi Dieng. Yogyakarta, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar