Semalam aku bermimpi, ketika terbangun dari tidur kulihat isteriku tersenyum manis disampingku. Aku tadinya tak yakin dengan apa yang kulihat, mungkin ini mimpi. Tapi dengan cepat aku menampik, bukan! Ini bukan mimpi. Isteriku memang cantik, tapi bukan kecantikan itu yang aku permasalahkan. Seperti ada sesuatu yang memancar dari kecantikan wajahnya, dan sepertinya juga ada sesuatu yang membuat hatiku bergetar melihat pandangan matanya. Dan bibir yang tersenyum hangat itu, ach, bukankah aku selalu mencumbuinya siang-malam? Tapi selalu membuat aku lupa. Memang, keasyikan yang menyenangkan kadang membuat aku sering lupa. Sehingga aku tak bosan melakukannya berulang kali.
Isteriku menggeliat sambil meregangkan kedua tangannya. Ya ampun, pandanganku menelusuri alur kelok tubuhnya yang menawan seperti aku memandangi lembah, ngarai, dan dataran yang ditumbuhi ilalang lembut yang bergoyang dihembus angin sore. Dan bukit-bukit itu, selalu saja aku ingin sampai kepuncaknya, puncak yang damai dan tenang. Ya, pemandangan itu yang membuatku selalu merasa jatuh cinta, dan desah nafasnya, uhui, seperti nyanyian pucuk-pucuk cemara melagukan balada percintaan. Anganku jadi melambung, mungkin sampai ke pucuk-pucuknya langit. Dan, Plokk!,.. tamparan yang agak lumayan mendarat di pipi kiriku. Nyamuk, mas,.. kata isteriku sambil tersenyum renyah.
Ayo mas kita terbang, katanya sambil merangkul tubuhku dari belakang. Aneh sekejap kita telah berada diatas sekuter, sekuter bersayap yang kerap menjemput dan mengantarku terbang ke langit. Bukan! Ini bukan sekuter bersayap, aku lebih suka menamainya hewan impian. Hewan yang selalu dengan kesabaran dan keuletan serta kesetiaannya selalu mengantarku ke alam nyata dan mimpi, alam yang kerap aku cumbui dengan khidmat. Mas, mas,.. aku ingin terbang ke bulan, bisik isteriku manja. Aku tak menjawab, tapi mengulum senyum tanda mengiyakan. Dan, weerrr,..kita pun ke bulan. Bulan yang bundar dan bersinar terang, terang yang cemerlang dan hangat. Juga kadang tersenyum dengan bibirnya yang runcing, yang semasa kecil dulu aku selalu ingin bergandul disudutnya, sudut yang runcing dan tajam, seperti menancap dilangit biru yang gelap.
Kalo yang disana itu pasti gunung ya mas, kata isteriku sambil menunjuk sudut cakrawala. Gunung dengan bentuk seperti tumpeng lengkap dengan pucuk kawahnya seperti asap rokok yang mengepul, berbaur diantara mega dan awan, asap dan kabut. Kita menelusuri lembah-lembahnya yang luas ditumbuhi alang-alang, tempat kupu-kupu, belalang, kumbang dan jangkrik berlarian. Terus kutelusuri lereng-lereng dan bukit, pucuk-pucuk pinus yang melambai. Itu kan, bukit kita mas,.. Bukit Biru? Kata isteriku setengah bertanya. Ya, bukit biru, bukit dimana kita pernah bercinta dan menyetubuhi alam dengan damai dan tenang. Ach, masih membekas kenangan itu, kenangan yang selalu terukir dan tergambar tepat dibawah puncak bukit biru. Dan angin gunung yang selalu membangkitkan suasana ngelangut dan ngangleng.
Yang disana itu pasti pantai, mas, pantai yang berisik dan hangat. Ayo mas, kita kesana aku rindu bau pantai, pantai yang amis dan pasir yang hangat. Tempat kita pernah berselurup dan bermain air, juga mengukir kenangan dibibir pantai yang selalu dicumbui ombak. Ach, nafas kita pernah saling beradu diantara angin dan ombak, pasir dan rerimbunan daun pandan. Mas masih ingatkan? Mas, pernah berjanji setia seperti ombak? Dan menciumku seperti hangat pasir pantai? Kata isteriku, bertubi-tubi mengenang masa lalu sambil mempererat pelukannya dipunggungku yang juga jadi menghangat. Ahai, pandanganku jadi menerawang sampai keujung-ujungnya laut di cakrawala. Cakrawala tempat pandang dan kenangan saling bertaut, bertaut pada batas dan jarak, ruang dan waktu, yang saling berpusaran diantara karang dan laut, laut dan langit, langit dan semesta alam.
*selamat meraih mimpi kawan,…
Yogyakarta, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar