selamat datang di sketsa dunia kecilku semoga sesuatu yang kecil ini akan bermanfaat meski hanya secuil

Jumat, 10 Februari 2012

Titian kayu (buat: Nuning Chozanah)

Titian kayu ini telah berumur, sudah tua tapi belum udzur.Yang saling menghubungkan hati kita, saat mentari bersinar dipagi buta hingga senja tiba. Juga menghitung setiap langkah yang melintas dan mengantarnya sampai keujung angan.

Ia akan bernyanyi dan bergoyang, seiring setiap siapa saja yang ingin berjalan dan melintas. Melintasi mimpi dan nyali, dan bergegas menjemput kekasih yang menanti diujung batas. Batasnya kasih sayang, kerinduan dan kebencian.

Ia selalu diterpa panas dan hujan, juga malam yang berselimut embun dan kabut. Dan membungkus setiap yang akan datang, seperti janji sepasang kekasih yang bertemu diatas titian. Ketika lembayung memayungi dunia, ketika dua hati bertemu dan berkata, “kita telah bertemu diatas titian cinta, disaksikan langit, ombak dan perahu yang melintas. Jika kelak kita terpisah, titian ini akan bercerita, seperti kisah yang selalu terbungkus asap dan kabut”.

*diatas titian kayu itu, bersama kita cumbui sore yang hangat, sehangat senyum dan cinta-Mu.

Yogyakarta,2012.

Rabu, 01 Februari 2012

Skizofrenia


Aku dapat menjadi apa saja, apa saja yang kumau dan kusuka. Kini aku adalah wanita cantig. Wanita ayu bermata beling, siapa saja boleh menyapa dan menggodaku. Atau merasaiku seperti gula-gula, tapi ingat jangan kau sentuh aku dengan lidah atau mulutmu. Juga tanganmu yang bermata sepuluh, yang selalu melorok sana-sini menelanjangi rambut, kulit dan sedikit senyumku. Seperti yang kemarin kau curi diam-diam. Dari telapak meja makanku yang berwarna merah jambu. Dan diam-diam kau pasang pada meja riasmu, lihatlah, lihatlah, senyuman itu masih menempel disana bersama bibirku yang berwarna ungu. Dan menertawaimu ketika berpapasan dan berkaca, ach matamu pun menjadi sembilan, bertelinga lebar dan hidung terbalik. Terbalik merasai dan mengendusi setiap yang lewat dan melintas, dan berjalan pelan disudut jendela, daun pintu dan berlarian didinding ruangan. Terus berputar dan berpusaran, disetiap relung lobang mata jiwaku.

Dunia ini tidak terbalik, cuma aku senang berjalan dengan kaki diatas dan kupandangi setiap yang lewat dengan kepala dan mata dibawah. Sehingga semua yang nampak dan bersembunyi menjadi ada dan nyata. Se-ada dan se-nyata sebuah amsal yang terbalik : mana yang kau anggap paling waras, dia yang katamu nista, tapi ia dibayar demi sebuah kenikmatan, atau si penguasa yang kau bayar demi bencana dan kesengsaraan? Ini tentang si pelacur, penguasa dan si gila, siapa yang lebih gila? Atau si waras yang selalu berjubah dan berkelit tentang mata yang terbalik! Ach, lihatlah aku lebih benderang memandangi kemaluan dunia dengan jelas, indah dan sempurna. Dan selalu bertanya, kenapa laut yang diatas tapi tak tumpah juga yaa?

Tiba waktuku menemani si dokter, si dokter yang selalu berjubah putih dan pada saat-saat tertentu selalu ingin bersamaku. Kadang ia suka menyanyi, menggambar dan menari. Tapi selalu saja ia lupa namanya, aneh, kasihan dia. Kadang ia tak mau bersuara, tapi cuma matanya saja yang berkedip, melotot dan melirik, “Mataku kutaruh dimana ya?” katanya, terus ia mencarinya di saku, laci lemari dan kulkas. Kadang juga sering mengeluh dan bertanya, “Kok kakiku selalu tak sama ya? pasti tadi ada yang menukarnya ya?” Dan ketika matanya telah ditemukan lantas ia berkata, hai, lihat!, mataku sudah beranak, beranak pinak dan menjamak. Kemudian matanya pun berkeliaran mencari tempatnya bertengger dan selalu mengawasi. Mengawasi apa saja yang kulakukan dan kukerjakan. Berjalan, duduk, ngobrol, bermain catur juga ketika tiduran. Ia juga melihat ketika aku sedang berdandan, menjadi wanita ayu bermata beling. Mata yang bolong dan kosong, yang tak dapat membuatmu melihat dan berkaca. Dan selalu merabai apa-apa yang kulakukan. Juga suara yang selalu berbisik pelan dan mengajaku bercakap, menangis dan tertawa. Mengajaku berjalan dengan kepala dibawah, jalan yang zig-zag yang tak pernah sampai. Kakiku melangkah kedepan tapi selalu saja aku ketinggalan, dan jabat tanganmu yang ku genggam tapi selalu saja bermunculan dan jika sudah begini, suara-suara itu mengajaku bercanda dan tertawa dengan tawa yang sumbang dan aneh. Dan si dokter akan mengajaku bermain dokter-dokteran, mula-mula ia meminum obatnya, terus giliran ia memberi contoh menyuntiku. Ach, dokter nakal, masa selalu aku yang disuntik? Dan pelan-pelan langit menutup jendela kamarnya, hai, dokter, dokter (aku masih sempat berdoa), semoga tidurmu lelap dan sempurna, cepat sembuh yaa,..!

Yogyakarta, 2012.

Minggu, 29 Januari 2012

Dialog Pantai


Suatu sore disuatu pantai, ketika mentari senja bersinar hangat, dan angin sepoi-sepoi. Sepasang anak manusia, layaknya sepasang kekasih bergandengan, berpelukan. Menyusuri bibir pantai menyapa ombak, menikmati nyanyian angin dan riak gelombang. Dan angin mendesir uwir-uwir menjamah pasir yang menerbangkan angan dan impian, impian sepasang kekasih, penuh harap dan angan. Langit diatas sana secerah hatinya, seindah cintanya. “mas, aku tak ingin pulang, aku selalu merindukan saat-saat kayak gini,..” kata perempuan itu manja sambil nggelendot dipundak si lelaki. Lelaki itu hanya tersenyum sambil mempererat pelukannya, seakan takut kalau-kalau kekasihnya akan terbawa angin, sambil mata dan perasaannya menerawang jauh diujung samodera, ujungnya mimpi dan angan. “Aku pun akan setia dengan cintamu, sayang,..” kata si lelaki dalam hatinya. Dan Alam pun mendengar harapan keduanya, maka jadilah si perempuan itu menjadi bibir pantai, pantai dengan pasir yang memanjang dan luas. Dan si lelaki menjadi ombak, ombak yang selalu setia mencumbui bibir pantai. Pantai dengan pasir yang halus, berlekuk-kelok dan hangat.

Ditempat lain yang masih di pantai itu. Sepasang kekasih dengan cintanya, yang menggelora, menggebu-gebu seperti gelegar ombak yang dahsyat, sedang berasyik-masyuk. Tak menghiraukan sekelilingnya, kayak dunia ini hanya milik mereka berdua, tentu saja orang lain cuma numpang doang, mungkin pikirnya. “Mas,.. bagaimana seandainya orang tua ku tak menyetujui hubungan kita?” Tanya si wanita. “Apapun yang terjadi aku tetap memilihmu, sayang, mencintaimu, tiada yang lain”. Kata si lelaki, “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Tambahnya. Hordaa pring!,.. sekejap kemudian jadilah keduanya karang ditengah lautan. Karang yang tegak menantang hantaman ombak, berdiri tegak, keras dan tajam. Setajam dan sekeras kemauan cinta mereka berdua.

Masih dipantai yang sama, lelaki muda berjalan gontai, putus asa. Kayaknya sih sedang prustasi dia. Ach, Alam sebagai penyaksi, jadilah ia burung camar. Dan ia menjadi ceria sekali, meski kadang menjerit dengan pekikan yang menyayat hati. Kini ia beterbangan kesana-kemari, mencari mangsa, mencari belahan hati. Di tempat yang sama, wanita muda duduk termenung sendiri. Tak mau berkawan dan menikmati kesendiriannya, mengenang masa, tergenang kenangan indah yang pernah dilaluinya. Siang-malam kerjanya melamun dan bersendiri, dimatanya tak membayang harap dan mimpi. Seakan langit runtuh menimpa ia sendiri.Lantas Alam pun menjadikannya perahu. “Hah? Perahu?” tanyaku terheran-heran. “Ya, dengan menjadi perahu hidupnya akan lebih berarti”. Kata-Nya. “Meski dia hanya diam, tapi dia akan mengantar siapa saja untuk sampai ketujuannya. Dan itu akan lebih bermanfaat daripada ia hanya sebagai manusia penyendiri dan tergenang masa lalu saja”. Ku pikir, benar juga ya, dia akan membawa penumpangnya ketengah laut, menyisir di tepian pantai, menyusuri sungai sampai ke hulu. Mengail dan menjala ikan, atau mengantar orang yang akan menyeberang. Dan juga mereka yang sedang berpiknik dan bersenang-senang. Lelaki perempuan sama saja, boleh naik dan mendayung, menikmati panorama sungai dan laut. Sendiri atau beramai, sekali dayung dua atau tiga pulau dapat terlampau. Memecah ombak menentang badai, siang-malam selalu bergoyang, selalu tergenang,selalu tergenang,…

Yogyakarta, 2012.

Sabtu, 28 Januari 2012

Matahari dan Rembulan


Namaku Yanto, Yanto Brahma Susastro. Tapi kalo malam tiba namaku akan berganti Yanti, Yanti Kusumaati. Dan tubuh juga perangaiku yang gagah dan jantan di siang hari, kini berganti menjadi lemah gemulai, cantig dan ach, bah peragawati gituloh. Siapa sih yang engga tertarik dengan ku? Kalo aku sudah diatas panggung, waduh-waduh Madonna tewas bo! Hahaha, bener lho, itu kata fans ku, jadi bukan aku lah yang jadi ge-er. Aku menyanyi bagai bintang panggung dan memang itu adalah kenyataan. Jika MC sudah menyebut namaku, spontan penonton akan histeris sambil memberi aplaus panjang. Kadang aku sempat berpikir, mereka tertarik pada tubuhku atau suaraku ya? ach, entahlah masa bodoh! Tapi memang aku puas dengan semua ini, dengan gaya hidupku. Siang sebagai lelaki jantan dan handsome, terus malam menjadi bidadari di atas panggung. Dan dipuja pria dan wanita, aih-aih, mereka akan puas jika setelah menyanyi, terus kuberi cium jauhku dan perlahan kutiup diatas telapak tanganku sambil kupermainkan sedikit bibirku. Ach, mampus dech loo!, he he he.

Sebagai Yanto Brahma Susastro, aku adalah pejantan tangguh. Gini-gini, cewekku cakip-cakip loh, ada Mira, Mia, Yuni, Desi dan banyak lagi lah yang lainnya. Sampai aku kadang lupa mengingat nama mereka. Sebab bercinta dengan mereka sama sekali ga ada yang berkesan dan membekas. Bagiku mereka semua sama, meski kalau aku rasakan seperti permen. Ada yang rasa manis, asin, asam dan tentu saja dalam takaran yang berbeda. Satu hal yang membuat mereka sama, mata duitan. Lebih halus kan dari pada kukatakan matre. Ach, tapi kupikir itu manusiawi lah, siapa sih jaman gini yang ga gitu? Apalagi aku pria tampan dan berpenghasilan, dirumah sendiri lagi. Tapi benar kok, aku sama sekali tak berkeinginan hidup bareng dengan mereka. Dan itu diawal pacaran kita sudah membuat komitmen bersama. Jadinya ya, gitu dech! Aku sudah merasa menjadi manusia sempurna, sehingga aku tak butuh hidup seperti orang kebanyakan. Menikah, punya anak, ngurusi ini-itu, haduh-haduh, capek dech!

Sebagai manusia yang sempurna, kehidupan percintaanku ga selalu mulus loh? Banyak cewek-cewekku yang menyakiti aku, didepanku mereka jaim, sok alimlah. Tapi dibelakangku mereka punya kekasih lain. Kurang apa sih aku? Tapi ga apa kok, kupikir itu juga manusiawi, dan meski kecewa tapi aku ga sakit hati kok, suwer! Dan sebagai Yanti, jangan dikira aku selalu bahagia. Lebih banyak yang memujaku sebagai Yanti daripada kehadiranku sebagai Yanto. Pernah suatu saat aku berkencan dengan seorang pria, itu terpaksa aku lakukan sebab sering kali ia selalu menyita perhatianku dan selalu merengek agar aku menerima cinta-nya. Jadi karena kasihan dan dengan sangat terpaksa kuladeni kamauannya berkencan. Sekali, dua kali berkencan mungkin baginya itu adalah kencan yang indah. Terus sampai suatu ketika kami berkencan dan bercinta hebat, aku jelaslah sampai terangsang. Tapi tiba-tiba aku merasa aneh, seakan aku kembali lagi menjadi Yanto. Yanto Brahma Susastro, si lelaki tulen itu, dan bisa dibayangkan kan? Bagaimana jadinya lelaki yang mengajaku kencan tadi? He he he, mungkin itu pengalaman pahit, tapi sekaligus pengalaman yang lucu buatku. Aku adalah si Yanti Kusumaati, si bintang panggung. Bukan teman bercinta bagi lelaki manapun!

Dan jika malam telah menjelang, ini adalah saat yang paling aku nantikan. Lihatlah, perlahan bulu-bulu di tangan, kaki dan kumis serta cambangku menjadi lenyap. Dan dadaku kian mendesak keluar dan menonjol, dengan tonjolan yang indah. Kakiku menjadi mulus dan langsing, dan pinggulku, aduhai kata mereka. Ach, kurasa malam ini aku adalah wanita yang sempurna. Aku si Yanti Kusumaati, bintang panggung siap menghibur anda. “Sudah siap belum?” dan dikejauhan lamat-lamat kudengar senandung, matahari dan rembulan, berkejaran ingin berpelukan,…

Yogyakarta,2012.

Rabu, 25 Januari 2012

Ciuman yang membekas di Batu Candi


Dieng Plateau masih berkabut ketika pagi sekali kutinggalkan kamar hotel. Aku bergegas ke situs candi-candi itu, karena aku tak ingin kehilangan momen pagi. Momen pagi yang entah mengapa kuanggap sangat penting bagiku. Aku tak berharap dapat melihat matahari terbit, karena tempat ini memang dikelilingi gunung-gunung, atau lebih tepatnya bukit-bukit. Dan kalau boleh jujur alam disini ketika pagi begini, lebih tepatnya seperti hawa kulkas. Dingin, berkabut dan nafas ini selalu mengeluarkan uap embun. Aku jadi berharap matahari itu terbit, tapi matahari yang ada dalam alam khayalku. Yang dengannya aku berharap tidak saja menhangatkan tubuhku, tapi lebih pada gairahku. Ya, aku ingin semangatku selalu terbakar olehnya. Matahari yang tercipta dalam tubuhku, dalam alam pikiranku.

Kumasuki pelataran candi-candi ini. Tubuhku agak menghangat, walaupun jarak dari hotel ke situs ini tidak begitu jauh, tapi cukup menyulut bara matahari dalam tubuhku. Hal yang selalu sama aku rasakan setiap kali memasuki pelataran candi ini. Walaupun entah untuk yang keberapa kali aku ketempat ini. Tapi, kali ini adalah pagiku yang pertama kalinya aku disini. Memang lain, atau karena hanya aku sendiri yang menikmati pagi di candi ini. Entahlah, tapi kali ini kurasakan lain dari biasanya. Tapi aneh, aku seperti tidak sendiri disini, meski yang ada hanya batu-batu candi yang seperti diam dan beku. Ach, aku jadi ingat, betapa bergegasnya aku ketika menemui kekasihku, waktu masa sekolah dulu. Dan setelah bertemu, kami hanya saling memandang malu, tak berkata-kata. Hanya senyum dan tentu saja perasaan yang melayang. Hehehe, kok jadi melayang kesana ya? entahlah

Aku berjalan pelan mengelilingi pelataran candi. Kunikmati betul suasana pagi ini. Sendiri, berkabut, embun dan batu candi. Bahkan alampun seakan masih membisu, ngelangut dan ngangleng. Aku berhenti pada salah satu candi. Salah satu candi yang menurutku sangat berbeda dengan yang lainnya. Mungkin karena dibagian tubuh candi ini terdapat beberapa gambar dewa sehingga dia berbeda dengan yang lain. Tapi memang iya sih, aku sedikit tertarik dengan gambar-gambar itu, meskipun sudah terlihat rapuh dan tak utuh lagi. Mungkin itu Syiwa, Guru atau Wisnu. Tapi satu gambar yang kuyakini dan aku benar-benar tertarik. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Gambar relief itu sudah tak utuh, tak berwajah dan bahkan dua bagian yang berada di dada, bagian yang menurutku sangat menarik itu, sudah tak ada lagi. Mungkin karena dia sangat cantik dan menarik, sehingga ada saja tangan-tangan usil yang selalu ingin menjamah dan akhirnya? Seperti yang kulihat, mencongkelnya dan menyimpannya, mungkin.

Dari jarak tertentu dia kupandang. Aneh, sepertinya dia juga menatap dan mengamatiku. Dan tangannya yang berjumlah empat itu mulai sedikit bergerak. Tangannya menggenggam bunga, anak panah dan yang dua lainnya membawa entah, aku tak memperhatikan. Kini tubuhnya yang ramping itu mulai sedikit bergoyang. Dan kakinya yang jenjang mulai menapak, dia bergerak, bergoyang, goyang yang gemulai dan turun di pelataran candi. Mungkin dia menari atau bergerak, tapi gerak dan goyang yang sangat menawan. Aku larut dalam tariannya, tarian dengan gerak pelan dan memperlihatkan gemulai lekuk tubuhnya yang aduhai. Pelan dia seakan menghampiriku dan memberikan bunga yang sudah tak utuh. Aku terima bunga itu dengan tubuh bergetar, dan tak kurasakan lagi detak jantung juga desah nafasku. Ketika bunga itu kusentuh, dan, plass,… dia kembali pada tubuh candi. Dan bunga yang kuterima itu menjadi secuil batu. Secuil batu candi seperti kelopak bunga, tapi seperti juga sepasang bibir, sepasang bibir yang saling menangkup, seperti ciuman yang membekas di batu candi.

*kenangan esuk uthug-uthug berdingin-dingin di pelataran candi Dieng. Yogyakarta, 2012.